MAKALAH
MADZHAB SHAHABY DAN DZARI’AH
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Madzhab
Shahabi ((مذ هب صحابي
1.
Pengertian
Madzhab Shahaby
Yang
di maksud Madzhab Shahaby “pendapat para sahabat Rosulullah saw.” Yang dimaksud
pendapat sahabat adalah pendapat para
sahabat mengenai suatu kasus yang di nukil para ulama, baik berupa fatwa maupun
ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap
kasus yang dihadapi sahabat tersebut.[1]
Menurut
pendapat lain bahwa Madzhab Shahaby ialah fatwa-fatwa para sahabat mengenai
berbagai masalah yang dinyatakan setelah Rosulullah wafat. Fatwa – fatwa mereka
itu ada yang telah dikumpulkan oleh para tabi’in sebagaimana mereka mengumpulkan hadits-hadits Rosulullah saw. Fatwa-fatwa
sahabat ini ada yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan Rosulullah dan ada
juga yang berdasarkan ijtihad mereka.[2]
2.
Objek
Kehujahannya Madzhab Shahaby
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat
yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya
mereka sepakat bahwa pendapat seorang sahabat yang terkait dengan permasalahan
yang tidak bisa dinalar logika dapat
diterima sebagai hujjah. Kemudian, para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ijma’
sahabat secara jelas atau ijma’ yang tidak diketahui ada yang mengingkarinya,
dapat dijadikan hujjah.
Persoalan yang menimbulkan perbedaan
pendapat di kalangan para ulama adalah pendapat para sahabat yang berdasarkan
ijtihad semata-mata, apakah sudah menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya?
Ulama Hanafiyah. Imam Malik, qoul qodim
imam al-syafi’i dan pendapat di perkuat dari imam Ahmad bin
Hanbal, menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila
pendapat para sahabat bertentangan dengan qiyas(analogi) maka pendapat para
sahabat didahulukan.
Alasan
yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah dalam surat Ali Imron,
3:110:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ
بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ...
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,menyeru
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.....”
Menurut mereka
yan ini menunjukkan kepada para sahabat. Kemudian dalam ayat lain Allah
berfirman :
وَالسَّابِقُوْنَ الْأَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ
وَالْأَنْصَارِوَالَّذِيْنَ اتَّبِعُوْهُمْ بِأِحْسنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ....
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama
(masuk islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansor yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah Ridho kepada mereka...(QS. Al-Taubah, 9:1000)
Dalam ini, menurut mereka, Allah secara jelas memuji para sahabat,
karena merekalah yang pertama kali masuk islam. Pujian ini juga di berikan
kepada generasi sesudah mereka yang mengikuti langkah-langkah para sahabat.
Dalam hadits Rosulullah SAW bersabda:
اِقْتَدُوْا بِالَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ...(رواه
أبو داود واحمد بن حنبل).
“Hendaklah kamu
berpegang dengan sunnahku dan sunnah khalifah yang empat sesudahnya.....(H.R.
Abu Daud dan Ahmad ibn Hanbal).”
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal,
hadits tersebut secara jelas menunjukan bahwa umat islam diwajibkan untuk
mengikuti Sunnah para sahabat.
Imam
Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal selanjutnya mengatakan bahwa sangat mungkin
akan dilakukan dan dikatakan para sahabat itu datangnya dari Rosulullah saw,
bahkan tidak sedikit pendapat mereka yang didasarkan kepada petunjuk Rosulullah
SAW. Disamping itu, para sahabat tidak akan mengeluarkan pendapatnya kecuali
dalam hal-hal yang amat penting. Hal ini menunjukkan sikap kehati-hatian mereka dalam menjawab persoalan hukum yang dihadapkan
mereka.[3]
B.
Al- Dzari’ah
(الذريعه)
1.
Pengertian
Dzari’ah
Di lihat dari segi kebahasaan, kata Al-dzari’ah
bearti yang menghubugkan sesuatu pada sesuatu yang lain. Sedangkan menurut
istilah adalah sesuatu yang membawa pada perbuatan-perbuatan terlarang dan
menimbulkan masfadah, atau yang akan membawa perbuatan-perbuatan yang baik yang
membawa maslahah.
Sesuai definisi
di atas , Al-dzari’ah itu terbagi dua yaitu:
a.
Sesuatu
yang akan membawa pada perbuatan terlarang dan menimbulkan mafsadah yang
disebut dengan sad al-dzari’ah. Jenis ini merupakan al-dzari’ah yang
termasuk perbuatan buruk dan harus di tutup.
b.
Al-dzari’ah
jenis kedua termasuk perbuatan-perbuatan baik dan harus dibuka kesempatan untuk
melakukannya, inilah yang disebut dengan fath al-dzari’ah.
Selain
itu , membuka atau menutup peluang untuk melakukan sesuatu bisa dilihat dari
dua segi yaitu pertama melihat akibat yang akan ditimbulkan
perbuatan-perbuatan itu, dan kedua melihat niat dari pelaksanaan sesuatu
perbuatan. [4]
2.
Macam-macam
Al-Dzari’ah
a. Dilihat dari Segi Kualitas Kemafsadatannya
§
Perbuatan
yang dilakukan itu membawa kepada kemasfadatan secara pasti (qath’i)
§
Perbutan
yang dilakukan boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada kemafsadatan.
§
Perbuatan
yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan.
§
Perbuatan
itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi
kemungkinan juga perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan.
b. Dilihat dari Segi Jenis Kemafsadatan yang Ditimbulkannya
Menurut Ibn Qayyim
Al-Jauziyyah, Al-Dzariyah terbagi kepada:
§
Perbuatn
itu membawa kepada suatu kemafsadatan.
§
Perbuaatn
itu pada dasarnya perbuatan yang di perbolehkan , tetapi dijadikan jalan untuk
melakukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja maupun
tidak.[5]
3.
Kehujahannya Sadd Al-Dzari’ah
Terdapat
perbedaan pendapat ulama terhadap keberadaan sadd al-dzari’ah sebagai dalil
dalam menetapkan hukum syara’. Ulama Malikiyah dan ulama Hanabilah menyatakan
bahwa sadd al-dzari’ah dapat diterima sebagai
salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’.
Alasan yang mereka kemukakan adalah firman
Allah dalam surat Al-An’am, 6: 08:
وَلاَتَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ
دُزْنِ اللهَ فَيَسُبُّوْا اللهَ عْدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain
Allah, krena nanti mereka akan memaki Allah dengan makian yang sama, bahkan
lebih.”
Alasan lain yaitu dalam hadits Rosulullah
SAW:
أِنَّ مِنْ أَكْبَرِالْكَبَائِرِ أَنْ يَّلْعَنَ الرَّجُلُ
وَالِدَيْهِ, قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟
قَالَ : يَسُبُّ أَ بَا الرَّجثلِفَيَسُبُّ أَ بَاهُ, وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ
أُمَّهُ. (رواه البخا ري ومسلم و وأ بو داود)
“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat
kedua orang tuanya. Lalu Rosulullah ditanya orang, “Wahai Rosulullah, bagaimana
mungkin seseorang melaknat kedua ibu bapaknya?” Rosulullah menjawab, “seseorang
mencaci maki ayah orang lain, maka
ayahnya juga akan dicaci maki orang itu, dan seseorang mencacimaki ibu orang
lain, maka ibunya juga akan dicaci maki orang itu.” (H.R. Al- Bukhori, Muslim
dan Abu Daud).”
Dalam
hadits ini, menurut Ibn Taimiyah, menunjukkan bahwa sadd-Al-dzari’ah termasuk
salah satu alasan untuk menetapkan hukum syara’, karena sabda Rosulillah di
atas, masih bersifat dugaan, namun atas dasar dugaan itu Rosulullah
melarangnya.
Ulama
Hanafiyah, Syafi’iyah ddan Syi’ah, dapat menerima sadd- Al-dzari’ah sebagai
dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolak dalam kasus-kasus lain.
Ada dua sisi cara memandang
Dzari’ah yang di kemukakan para ulama ushul fiqh:
a. Dari sisi Motivasi yang mendorong
seseorang melakukan suatu pekerjaan, baik bertujuan untuk yang halal maupun yang
haram.
b. Dari sisi akibat suatu perbuatan
seseorang yang membawa dampak negatif.[6]
Menurut
Wahbah Al- Zhhaili, apa yang digambarkan Ibn Qoyyim Al- Jauziyah dan Imam
Al-Qarafi bahwa sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah bukan termasuk dalam dzari’ah, tetapi
termasuk dalam kaidah yang oleh jumhur ulama ushul fiqh disebut sebagai muqoddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan.
Terhadap hukum mukoddimah seperti itu, para ulama sepakat
untuk menerimanya, tetapi sepakat jika hal tersebut dikategorikan dalam kaidah dzari’ah. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
memasukkanya dalam kaidah dzari’ah yang disebut fath Al-dzari’ah. Ulama
Hanafiyah, Syafi’iyah dan sebagian Malikiyah menyebutnya sebagai hukum
mukoddimah, tidak termasuk dalam dzari’ah. Namun mereka sepakat menyatakan
bahwa hal tersebut keduanya dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
§ Madzhab Shahaby ialah
“pendapat para sahabat Rosulullah saw.” Yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat
mengenai suatu kasus yang di nukil pra ulama, baik berupa fatwa maupun
ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap
kasus yang dihadapi sahabat tersebut.
§ Mengenai kehujjahan Madzhab Shahaby, terdapat berbagai perbedaan pendapat mengenai hal ini.
Ada yang mengatakan dapat dijadikan hujjah dan ada pula yang mengatakan tidak
dapat dijadikan hujjah.
§ Dzari’ah adalah sesuatu yang membawa pada perbuatan-perbuatan
terlarang dan menimbulkan masfadah, atau yang akan membawa perbuatan-perbuatan
yang baik yang membawa maslahah.
§ Macam Dzari’ah dapat dilihat dari berbagai segi, pertama dari segi
kualitas kemafsadatannya dan kedua dari segi jenis kemafsadatan yang
ditimbulkan.
§ Mengenai kehujjahan
dzari’ah,terdapat perbedaan pendapat ulama terhadap keberadaan al-dzari’ah
sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’. Ada yang berpendapat dapat diterima sebagai salah satu dalil dalm
menetapkan hukum syara’ dan ada yang juga tidak demikian.
DAFTAR PUSTAKA
Haroen,Nasrun. 1997. Ushul
Fiqh 1. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Saputra,M.
dan Djedjen Zaenuddin. 1994. Fiqih.
Semarang: PT Karya Toha Putra.
Rosyada,
Dede. 1999. Hukum Islam dan Pranata
Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
[4] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial(Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 57-58.
0 komentar:
Posting Komentar