Jumat, 18 September 2015

MADZHAB SHAHABY DAN DZARI’AH

8:29 PM

MAKALAH
MADZHAB SHAHABY DAN DZARI’AH





 BAB II
PEMBAHASAN

A.    Madzhab Shahabi ((مذ هب صحابي
1.      Pengertian Madzhab Shahaby
Yang di maksud Madzhab Shahaby “pendapat para sahabat Rosulullah saw.” Yang dimaksud  pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat mengenai suatu kasus yang di nukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut.[1]
          Menurut pendapat lain bahwa Madzhab Shahaby ialah fatwa-fatwa para sahabat mengenai berbagai masalah yang dinyatakan setelah Rosulullah wafat. Fatwa – fatwa mereka itu ada yang telah dikumpulkan oleh para tabi’in sebagaimana mereka mengumpulkan  hadits-hadits Rosulullah saw. Fatwa-fatwa sahabat ini ada yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan Rosulullah dan ada juga yang berdasarkan ijtihad mereka.[2]

2.      Objek Kehujahannya Madzhab Shahaby
          Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya mereka sepakat bahwa pendapat seorang sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak bisa dinalar logika  dapat diterima sebagai hujjah. Kemudian, para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ijma’ sahabat secara jelas atau ijma’ yang tidak diketahui ada yang mengingkarinya, dapat dijadikan hujjah.
    Persoalan yang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama adalah pendapat para sahabat yang berdasarkan ijtihad semata-mata, apakah sudah menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya?
    Ulama Hanafiyah. Imam Malik, qoul qodim imam al-syafi’i dan pendapat di perkuat dari imam Ahmad  bin  Hanbal, menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat para sahabat bertentangan dengan qiyas(analogi) maka pendapat para sahabat didahulukan.
          Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah dalam surat Ali Imron, 3:110:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ...                                     
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.....”
Menurut mereka yan ini menunjukkan kepada para sahabat. Kemudian dalam ayat lain Allah berfirman :

وَالسَّابِقُوْنَ الْأَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَالْأَنْصَارِوَالَّذِيْنَ اتَّبِعُوْهُمْ بِأِحْسنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ....   
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama (masuk islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansor yang mengikuti mereka dengan baik, Allah Ridho kepada mereka...(QS. Al-Taubah, 9:1000)
Dalam ini, menurut mereka, Allah secara jelas memuji para sahabat, karena merekalah yang pertama kali masuk islam. Pujian ini juga di berikan kepada generasi sesudah mereka yang mengikuti langkah-langkah para sahabat.
Dalam hadits Rosulullah SAW bersabda:
اِقْتَدُوْا بِالَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ...(رواه أبو داود واحمد بن حنبل).                                      
“Hendaklah kamu berpegang dengan sunnahku dan sunnah khalifah yang empat sesudahnya.....(H.R. Abu Daud dan Ahmad ibn Hanbal).”
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, hadits tersebut secara jelas menunjukan bahwa umat islam diwajibkan untuk mengikuti Sunnah para sahabat.
 Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal selanjutnya mengatakan bahwa sangat mungkin akan dilakukan dan dikatakan para sahabat itu datangnya dari Rosulullah saw, bahkan tidak sedikit pendapat mereka yang didasarkan kepada petunjuk Rosulullah SAW. Disamping itu, para sahabat tidak akan mengeluarkan pendapatnya kecuali dalam hal-hal yang amat penting. Hal ini menunjukkan sikap kehati-hatian  mereka dalam  menjawab persoalan hukum yang dihadapkan mereka.[3]

B.     Al- Dzari’ah (الذريعه)
1.      Pengertian Dzari’ah
 Di lihat dari segi kebahasaan, kata Al-dzari’ah bearti yang menghubugkan sesuatu pada sesuatu yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang membawa pada perbuatan-perbuatan terlarang dan menimbulkan masfadah, atau yang akan membawa perbuatan-perbuatan yang baik yang membawa maslahah.
Sesuai definisi di atas , Al-dzari’ah itu terbagi dua yaitu:
a.       Sesuatu yang akan membawa pada perbuatan terlarang dan menimbulkan mafsadah yang disebut dengan sad al-dzari’ah. Jenis ini merupakan al-dzari’ah yang termasuk perbuatan buruk dan harus di tutup.
b.      Al-dzari’ah jenis kedua termasuk perbuatan-perbuatan baik dan harus dibuka kesempatan untuk melakukannya, inilah yang disebut dengan fath al-dzari’ah.
          Selain itu , membuka atau menutup peluang untuk melakukan sesuatu bisa dilihat dari dua segi yaitu pertama melihat akibat yang akan ditimbulkan perbuatan-perbuatan itu, dan kedua melihat niat dari pelaksanaan sesuatu perbuatan. [4]
2.      Macam-macam Al-Dzari’ah
a.       Dilihat dari Segi Kualitas Kemafsadatannya
§  Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemasfadatan secara pasti (qath’i)
§  Perbutan yang dilakukan boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada kemafsadatan.
§  Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan.
§  Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi kemungkinan juga perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan.
b.      Dilihat dari Segi Jenis Kemafsadatan yang Ditimbulkannya
Menurut Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Dzariyah terbagi kepada:
§  Perbuatn itu membawa kepada suatu kemafsadatan.
§  Perbuaatn itu pada dasarnya perbuatan yang di perbolehkan , tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja maupun tidak.[5]

3.       Kehujahannya Sadd Al-Dzari’ah
          Terdapat perbedaan pendapat ulama terhadap keberadaan sadd al-dzari’ah sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’. Ulama Malikiyah dan ulama Hanabilah menyatakan bahwa  sadd al-dzari’ah dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’.
    Alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah dalam surat Al-An’am, 6: 08:
وَلاَتَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُزْنِ اللهَ فَيَسُبُّوْا اللهَ عْدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ                                                           
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, krena nanti mereka akan memaki Allah dengan makian yang sama, bahkan lebih.”
    Alasan lain yaitu dalam hadits Rosulullah SAW:

أِنَّ مِنْ أَكْبَرِالْكَبَائِرِ أَنْ يَّلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ, قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ : يَسُبُّ أَ بَا الرَّجثلِفَيَسُبُّ أَ بَاهُ, وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ. (رواه البخا ري ومسلم و وأ بو داود)                           
“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu Rosulullah ditanya orang, “Wahai Rosulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua ibu bapaknya?” Rosulullah menjawab, “seseorang mencaci  maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang itu, dan seseorang mencacimaki ibu orang lain, maka ibunya juga akan dicaci maki orang itu.” (H.R. Al- Bukhori, Muslim dan Abu Daud).”
          Dalam hadits ini, menurut Ibn Taimiyah, menunjukkan bahwa sadd-Al-dzari’ah termasuk salah satu alasan untuk menetapkan hukum syara’, karena sabda Rosulillah di atas, masih bersifat dugaan, namun atas dasar dugaan itu Rosulullah melarangnya.
          Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah ddan Syi’ah, dapat menerima sadd- Al-dzari’ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolak dalam kasus-kasus lain.
    Ada dua sisi cara memandang Dzari’ah yang di kemukakan para ulama ushul fiqh:
a.       Dari sisi Motivasi yang mendorong seseorang melakukan suatu pekerjaan, baik bertujuan untuk yang halal maupun yang haram.
b.      Dari sisi akibat suatu perbuatan seseorang yang membawa dampak negatif.[6]
          Menurut Wahbah Al- Zhhaili, apa yang digambarkan Ibn Qoyyim Al- Jauziyah dan Imam Al-Qarafi bahwa sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah bukan termasuk dalam dzari’ah, tetapi termasuk dalam kaidah yang oleh jumhur ulama ushul fiqh disebut sebagai muqoddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan.
  Terhadap hukum  mukoddimah seperti itu, para ulama sepakat untuk menerimanya, tetapi sepakat jika hal tersebut dikategorikan dalam  kaidah dzari’ah. Ulama Malikiyah dan Hanabilah memasukkanya dalam kaidah dzari’ah yang disebut fath Al-dzari’ah. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan sebagian Malikiyah menyebutnya sebagai hukum mukoddimah, tidak termasuk dalam dzari’ah. Namun mereka sepakat menyatakan bahwa hal tersebut keduanya dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.[7]
















BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
§  Madzhab Shahaby ialah  “pendapat para sahabat Rosulullah saw.” Yang dimaksud  pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat mengenai suatu kasus yang di nukil pra ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut.
§  Mengenai kehujjahan Madzhab Shahaby, terdapat  berbagai perbedaan pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan dapat dijadikan hujjah dan ada pula yang mengatakan tidak dapat dijadikan hujjah.
§  Dzari’ah adalah sesuatu yang membawa pada perbuatan-perbuatan terlarang dan menimbulkan masfadah, atau yang akan membawa perbuatan-perbuatan yang baik yang membawa maslahah.
§  Macam Dzari’ah dapat dilihat dari berbagai segi, pertama dari segi kualitas kemafsadatannya dan kedua dari segi jenis kemafsadatan yang ditimbulkan.
§   Mengenai kehujjahan dzari’ah,terdapat perbedaan pendapat ulama terhadap keberadaan al-dzari’ah sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’. Ada yang berpendapat  dapat diterima sebagai salah satu dalil dalm menetapkan hukum syara’ dan ada yang juga tidak demikian.




DAFTAR PUSTAKA

Haroen,Nasrun. 1997.  Ushul Fiqh 1. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Saputra,M. dan Djedjen Zaenuddin. 1994.  Fiqih. Semarang: PT Karya Toha Putra.
Rosyada, Dede. 1999.  Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


[1] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1(Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 155.
[2] M. Saputra dan Djedjen Zaenuddin, Fiqih(Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994), hlm. 189.
[3] Nasrun Haroen, op. Cit., hlm. 156-157.
[4] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 57-58.
[5] Nasrun Haroen, op. Cit., hlm. 162-166.
[6] Ibid.,hlm. 167-169.
[7] Ibid., hlm. 171-172.

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

Posting Komentar

 

© 2013 Kumpulan Makalah. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top