M A K A L A H
KONDISI
HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Allah SWT menciptakan segala hal di dunia dalam keadaan
berpasang-pasangan, baik dengan buruk, tinggi dengan pendek, atas dengan bawah,
hidup dengan mati, jantan dengan betina,
termasuk manusia, wanita dan pria.
Wanita dengan pria ini merupakan pasangan sempurna dibanding pasangan
hewan jantan dan betina. Pernikahan adalah salah satu cara mempersatukan wanita
dan pria sebagai suami dan istri yang sah. Cara ini juga untuk membedakan
manusia dengan hewan.
Menurut K. Wantjik Saleh dalam bukunya Hukum Perkawinan
Indonesia, perkawinan adalah suatu perjanjian antara seorang pria dengan
seorang wanita dengan tujuan material yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu
harus berdasarkan ketuhanan yang maha esa, sebagai asas pertama dalam
pancasila.[1]
Di Indonesia, Pernikahan atau perkawinan merupakan prosesi sakral yang dilakukan oleh berbagai pemeluk agama baik
agama islam maupun agama non islam. Berdasarkan Undang-undang tentang
perkawinan 1 satu ayat 2 yang berbunyi ”Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Maka kondisi
perkawinan di Indonesia berbeda-beda karena berdasarkan hukum masing-masing
agama yang dianutnya.
Dalam makalahini akan dibahas mengenai kondisi perkawinan atau
pernikahan di Indonesia baik yang beragama islam maupun nin islam. Juga akan
dibahas mengenai bentuk dan model pernikahan disertai aturan atau
perundang-undangan yang digunakan sebagai landasan dalam pelaksanaan perkawinan
atau pernikahan di Indonesia.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perkawinan
Nikah (kawin) menurut arti asli adalah hubungan seksual sedangkan
menurut arti majazi atau hukum adalah akad yang menjadikan halal hubungan
seksual sebagai suami istri antara seorang pria dan wanita (hanafi). [2]
Menurut
Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh
untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dan perempuan membentuk
keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.
Perkawinan dapat dilihat dari tiga segi pandang, yaitu:
1.
Dari segi hukum
Dipandang
dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian, dinyatakan
“perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat” karena:
a.
Cara
mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad
nikah dan rukun atau syarat tertentu.
b.
Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu
dengan prosedur talak, kemungkinan
fassakh, syiqaq, dan sebagainya.
2.
Dari
segi sosial
Dalam
masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum ialah bahwa orang
yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih
dihargai dari pada mereka yang tidak kawin.
3.
Dari
segi agama
Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci dimana
kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling meminta
menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.
B.
Kondisi
Perkawinan di Indonesia
Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya
undang-undang perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan
memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah
berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita. Bangsa Indonesia
pernah memberlakukan berbagai hubungan
perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah, yaitu:
a.
Bagi
orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah
diresipir dalam hukum adat
b.
Bagi
orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat
c.
Bagi
orang Indonesia asli yang beragama kristen berlaku Huwelijkordonantie
Cristen Indonesia (STBL.1933 No.74)
d.
Bagi
orang-orang timur asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina berlaku
ketentuan-ketenuan hukum perdata dengan sedikit perubahan
e.
Bagi
orang-orang timur asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan Timur
asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka
f.
Bagi
warga negara Eropa dan warga negara Indonesia keturunan
Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.[3]
Oleh karena
itu, sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD ’45, sebagaimana Undang-undang perkawinan
selain kompilasi harus mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
pancasila dan UUD ’45 juga ia dituntut mampu menampung segala kenyataan yang
ada dalam masyarakat pada zaman ini.
Atas dasar
pemikiran itulah perkawinan yang diatur dalam kompilasi menjadi prinsip atau
asa-asas mengenai perkawinan yang meliputi segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan serta antisipatif terhadap perkembangan zaman.
Karena
kompilasi dalam banyak hal adalah penjelasan Undang-undang perkawinan, maka ada
6 prinsip yang dikemukakan dengan mengacu kepada undang-undang, yaitu:
1.
Tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami
istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
material.
2.
Suatu
perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu, serta tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan
yang berlaku.
3.
Undang-undang
ini menyangkut monogami. Hanya apabila ia dikehendaki oleh yang bersangkutan,
karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat
beristri lebih dari seorang.
4.
Calon
suami istri harus telah masak jiwa raaganya agar dapat melangsungkan
perkawinannya untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinannya secara baik tanpa
berpikir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik.
5.
Mempersulit
terjadinya perceraian
6.
Hak
dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan
demikian segala sesuatu dalam rumah tangga dapat dirundingkan dan dapat diputuskan
bersama suami istri.
C.
Bentuk-bentuk
Perkawinan di Indonesia.
Secara umum pelaksanaan perkawinan dibagi menjadi dua golongan
yaitu:
1.
Pelaksanaan
perkawinan untuk orang-orang Islam
Pencatatan
perkawinan dilaksanakan oleh pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk sebagaimana
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 2 ayat 1 dan
diikuti perumusan yang lebih rinci dalam kompilasi hukum islam.
Perkawinan
menurut agama islam adalah dengan mengucapkan Ijab-Kabul dengan disaksikan oleh
dua orang saksi didalam suatu masjid.[4]
2.
Pelaksanaan
perkawainan untuk orang-orang non Islam
Pencatatan perkawinan bagi selain agama islam, dilakukan oleh
kantor catatan sipil atau instansi/ pejabat yang membantunya. hal ini
sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 2 ayat 2.
Perkawinan menurut agama katholik atau kristen dimana pria dan
wanita mengucapkan perjanjian perkawinan di hadapan pendeta (pastur) yang
memberkati mereka di gereja.
Bagi mereka yang beragama
budha mempelai laki-laki dan mempelai perempuan mengucapkan perjanjian
perkawinan mereka di Vihara di depan Altar suci sang budha (bodhisatwa) dan diberkati oleh pendeta
(bikhu atau bikhuni atau sumanera atau sumaneri).
Sedangkan bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama hindu
adalah dimana mempelai pria dan mempelai wanita melakukan upacara beakhala atau
beakhaon di Natar atau dimuka sanggar dengan upacara pemberkatan (mejaya-jaya)
oleh brahmana (sulinggih).
Bagi mereka yang ingin melakukan perkawinan campuran dikarenakan
perbedaan agama hendaknya salah satu mengalah dan melepaskan agama yang
dianutnya sehingga tatacara perkawinan dilakukan menurut tatacara satu agama
saja. Bagi mereka acara perkawinan hanya dilakukan di kantor catatan sipil atau
melakukan perkawinan ganda menurut agama yang berbeda adalah tidak sah sebagaimana
dikatakan oleh prof H. HILMAN HADI KUSUMA,SH 1992:195[5]
Adapun bentuk atau
model perkawinan di Indonesia
D.
Hukum
Adat Perkawinan
Indonesia
merupakan negara yang kaya akan adat istiadat dan budaya. Dikarenakan nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat adat yang menyangkut tujuan perkawinan serta
menyangkut terhadap kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan dengan
masyarakat, maka proses pelaksanaan perkawinan harus diatur dengan tata tertib adat
agar dapat terhindar dari penyimpangan dan pelanggaran yang memalukan yang
akhirnya akan menjatuhkan martabat kehormatan keluarga dan kerabat yang
bersangkutan.
Aturan – aturan
hukum adat perkawinan di beberapa daerah di indonesia berbeda-beda dikarenakan
sifat kemasyarakatan , adat istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat
Indonesia, serta adanya kemajuan dan perkembangan zaman. dengan demikian selain
Adat perkawinan itu sendiri disana-sini telah mengalami perkembangan dan
pergeserannilai bahkan dewasaini sangatcenderunng bahkan sering terjadi
dilaksanakannya perkawinan campuran antar suku bangsa, antar adat, antar
orang-orang yang berbeda agama, bahkan perkawinan antar bangsa.
Namun dengan
adanya perbedaan hukum adat tersebut tidak melenceng dari hukum nasional yaitu
UU No.1 tahan 1974 tentang perkawinan.
E.
Dasar
aturan atau perundang-undangan perkawinan
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
Pasal 2
(1)
Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
(2)
Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku[6]
KESIMPULAN
perkawinan atau pernikahan merupakan suatu langkah yang membedakan
antara manusia dengan makhluk lainnya dalam rangka memperoleh keturunan. ada
berbagai bentuk atau cara dalam pelaksanaan perkawinan di Indonesia
[1] Soedharyo Soeimin, Hukum Orang dan Keluarga (Jakarta: Sinar
Grafika, 2002),hlm.6
[2] Moh.Idris Mulyono, Hukum Perkawinan Islam,(Jakarta: Bumi
Aksara, 1996),hlm.1
[3] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,1995), hlm. 55-56
[4] Tolyb Setiadi, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian
Kepustakaan, (Bandung: Alfabeta,2008),hlm. 258
[5] Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (dalam kajian
kepustakaan), (Bandung:
alfabeta,2008),hlm.258
[6] Muhammad Amin Suma, himpunan Undang-Undang Perdata Islam &
Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo
persada, 2004) hlm, 522-523
0 komentar:
Posting Komentar