Senin, 14 September 2015

Masailul Fiqhiyah Refleksi Sejarah Maulid

9:23 AM

A.    Refleksi Sejarah Maulid
Setiap kali memasuki bulan Rabi`ulAwal, umat Islam Indonesia disibukkan dengan berbagai macam rangkaian kegiatan untuk memperingati tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW. Mauled Nabi ini jatuh pada 12 Rabiul Awal.
Sejarah mencatat, perayaan Maulid Nabi diprakarsai oleh Raja Muzhaffar Abu Sa`id, penguasa Kota Ibrik, sebelah timur Mosul, Irak, pada abad VI Hijriyah. Ipar Sultan Salahuddin al Ayubi itu tercatat sebagai orang pertama yang memperingati Maulid Nabi secara besar-besaran.
Pada zaman itu, raja Mongolia Zenghis Khan tengah mengganas dan melabrak negeri tetangga. Raja Muzaffar membayangkan jikarakyatnya tidak memiliki ketahanan mental yang tinggi, tentu mereka akan menjadi korban keganasan nafsu ekspansionisme itu. Pada saat itu semangat rakyat melemah, Muzhaffar menemukan gagasan untuk membangkitkan kembali seemangat rakyatnya dengan mengungkapkan riwayat kehidupan Rasulullah SAW yang sangat heroic.
Dengan kajian mengenai kehidupan dan perjuangan Nabi itu ternyata mampu membangun kembali semangat rakyatnya itu, serta menumbuhkan ketahanan yang tinggi pada rakyatnya.
Dalam sebuah haditsnya Nabi SAW mengatakan, “Siapa yang mencintaiku, maka ia akan bersamaku di surge”. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan “Siapa yang mencintai sunnahku, maka berrti ia mencintaiku.”
Berkaitan dengan hal ini ada dua model cinta kepada Nabi SAW, yaitu “Athifiayah”, dan ”mihajiyah”. Model yang pertama ini lebih bersifat emosional dan termanifestasikan dalam bentuk kesiapan dan semangat membela. Karena cinta itu, seseorang akan sangat marah dan tersinggung bila nama baik Muhammad SAW dan Islam diusik. Sedangkan model cinta “Minhajiyah” yaitu mencintai Nabi SAW meliputi pribadi dan ajaran yang dibawanya (Islam) manifestasinya berupa mengikuti ajaran agama Islam dan meneladani sunnah-sunnah beliau.
Cinta rasul mutlak harus di miliki oleh setiap Muslim. Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah beriman seorang diantara kalian sehingga aku lebih dicintai daripada bapaknya, anaknya, dan dari semua manusia”.
Sebenarnya Rasulullah SAW sendiri merayakan hari kelehirannya, dan menyatakan puji syukur kepada Allah SWT atas segala kenikmatan dan berbagai anugerah yang dirasakan dan beliau dalam mengekspresikan ras syukur itu diwujudkan dengan amalan-amalan ibadah antara lain dengan menjalankan puasa sebagaimana telah diterangkan di dalam sebuah hadits dari Abi Qotadah, menyatakan bahwa Rasulullah SAW ketika ditanya mengapa pada hari senin beliau melaksanakn puasa? Beliau menjawab: Pada hari Senin itu aku dilahirkan dan pada hari Senin pula turun wahyu kepadaku.
Inilah makna Maulid yang sesungguhnya, hanya corak ragamnya yang bermacam-macam dan beraneka bentuk, tetapi intinya sama, ada yang diisi dengan amalan puasa, da nada pula yang diisi dengan amalan social, berderama dan menjamu makanan, atau mengadakan pertemuan dengan membaca dzikir serta sholawat Nabi, atau juga memperdengarkan riwayat keagungan tabi`in dan keluhuran budi pekertinya atau akhlaknya yang mulia.
Menumbuhkan rasa senang di kalangan kaum Muslimin dengan adanya peristiwa Maulid Nabi SAW.
Bahwa sesungguhnya Nabi SAW itu sangat memperhatikan adanya pertautan waktu dengan peristiwa-peristiwa besar keagamaan yang telah terjadi, maka apabila waktu itu datang berulang lagi pada masa berikutnya, maka itu merupakan kesempatan yang mengingatkan memory kita sehingga momentum itu sebagai kenangan yang manis dan berharga.
Bahwa perayan Maulid Nabi itu dipandang baik untuk diadakan menurut para ulama dan kaum muslimin di berbagai Negara.
Ada yang menyatakan bahwa tidaklah segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Kaum Salaf atau tidak dijalankan pada masa awal Islam itu mesti merupakan bid`ah, yang mana bid`ah ini sesuatu yang jelek dan haram untuk dilaksanakan.
Perayaan mauled itu yang memang belum ada pada zaman Nabi SAW, merupakan bid`ah. Namun bid`ah itu khasanah karena ada kandungan legitimasi dalil syari`at dan qo`idah-qo`idah umum, hal itu dikatakan sebagai bid`ahdengan pertimbangan factor lembaga social, bukan karena pertimbangan individu-individu yang memang ada sebagai pelaku sejarah pada zaman Nabi SAW.

Bahwa segala sesuatu yang tidak ada pada masa awal Islam dengan pertimbangan factor-faktor lembaga social, tapi secara individu itu ada terutama oleh kerabat Nabi SAW. Maka perayaan Nabi memang dianjurkan dan tidak perlu diragukan lagi.

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

Posting Komentar

 

© 2013 Kumpulan Makalah. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top