A. Refleksi
Sejarah Maulid
Setiap kali
memasuki bulan Rabi`ulAwal, umat Islam Indonesia disibukkan dengan berbagai
macam rangkaian kegiatan untuk memperingati tanggal kelahiran Nabi Muhammad
SAW. Mauled Nabi ini jatuh pada 12 Rabiul Awal.
Sejarah
mencatat, perayaan Maulid Nabi diprakarsai oleh Raja Muzhaffar Abu Sa`id,
penguasa Kota Ibrik, sebelah timur Mosul, Irak, pada abad VI Hijriyah. Ipar
Sultan Salahuddin al Ayubi itu tercatat sebagai orang pertama yang memperingati
Maulid Nabi secara besar-besaran.
Pada zaman itu,
raja Mongolia Zenghis Khan tengah mengganas dan melabrak negeri tetangga. Raja
Muzaffar membayangkan jikarakyatnya tidak memiliki ketahanan mental yang
tinggi, tentu mereka akan menjadi korban keganasan nafsu ekspansionisme itu.
Pada saat itu semangat rakyat melemah, Muzhaffar menemukan gagasan untuk
membangkitkan kembali seemangat rakyatnya dengan mengungkapkan riwayat
kehidupan Rasulullah SAW yang sangat heroic.
Dengan kajian
mengenai kehidupan dan perjuangan Nabi itu ternyata mampu membangun kembali
semangat rakyatnya itu, serta menumbuhkan ketahanan yang tinggi pada rakyatnya.
Dalam sebuah
haditsnya Nabi SAW mengatakan, “Siapa
yang mencintaiku, maka ia akan bersamaku di surge”. Dalam kesempatan lain
beliau menyatakan “Siapa yang mencintai
sunnahku, maka berrti ia mencintaiku.”
Berkaitan dengan
hal ini ada dua model cinta kepada Nabi SAW, yaitu “Athifiayah”, dan ”mihajiyah”.
Model yang pertama ini lebih bersifat emosional dan termanifestasikan dalam
bentuk kesiapan dan semangat membela. Karena cinta itu, seseorang akan sangat
marah dan tersinggung bila nama baik Muhammad SAW dan Islam diusik. Sedangkan
model cinta “Minhajiyah” yaitu
mencintai Nabi SAW meliputi pribadi dan ajaran yang dibawanya (Islam)
manifestasinya berupa mengikuti ajaran agama Islam dan meneladani sunnah-sunnah
beliau.
Cinta rasul
mutlak harus di miliki oleh setiap Muslim. Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah
beriman seorang diantara kalian sehingga aku lebih dicintai daripada bapaknya,
anaknya, dan dari semua manusia”.
Sebenarnya
Rasulullah SAW sendiri merayakan hari kelehirannya, dan menyatakan puji syukur
kepada Allah SWT atas segala kenikmatan dan berbagai anugerah yang dirasakan
dan beliau dalam mengekspresikan ras syukur itu diwujudkan dengan amalan-amalan
ibadah antara lain dengan menjalankan puasa sebagaimana telah diterangkan di
dalam sebuah hadits dari Abi Qotadah, menyatakan bahwa Rasulullah SAW ketika
ditanya mengapa pada hari senin beliau melaksanakn puasa? Beliau menjawab: Pada
hari Senin itu aku dilahirkan dan pada hari Senin pula turun wahyu kepadaku.
Inilah makna
Maulid yang sesungguhnya, hanya corak ragamnya yang bermacam-macam dan beraneka
bentuk, tetapi intinya sama, ada yang diisi dengan amalan puasa, da nada pula
yang diisi dengan amalan social, berderama dan menjamu makanan, atau mengadakan
pertemuan dengan membaca dzikir serta sholawat Nabi, atau juga memperdengarkan
riwayat keagungan tabi`in dan keluhuran budi pekertinya atau akhlaknya yang
mulia.
Menumbuhkan rasa
senang di kalangan kaum Muslimin dengan adanya peristiwa Maulid Nabi SAW.
Bahwa
sesungguhnya Nabi SAW itu sangat memperhatikan adanya pertautan waktu dengan
peristiwa-peristiwa besar keagamaan yang telah terjadi, maka apabila waktu itu
datang berulang lagi pada masa berikutnya, maka itu merupakan kesempatan yang
mengingatkan memory kita sehingga momentum itu sebagai kenangan yang manis dan
berharga.
Bahwa perayan
Maulid Nabi itu dipandang baik untuk diadakan menurut para ulama dan kaum
muslimin di berbagai Negara.
Ada yang
menyatakan bahwa tidaklah segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Kaum
Salaf atau tidak dijalankan pada masa awal Islam itu mesti merupakan bid`ah,
yang mana bid`ah ini sesuatu yang jelek dan haram untuk dilaksanakan.
Perayaan mauled
itu yang memang belum ada pada zaman Nabi SAW, merupakan bid`ah. Namun bid`ah
itu khasanah karena ada kandungan legitimasi dalil syari`at dan qo`idah-qo`idah
umum, hal itu dikatakan sebagai bid`ahdengan pertimbangan factor lembaga
social, bukan karena pertimbangan individu-individu yang memang ada sebagai
pelaku sejarah pada zaman Nabi SAW.
Bahwa segala
sesuatu yang tidak ada pada masa awal Islam dengan pertimbangan factor-faktor
lembaga social, tapi secara individu itu ada terutama oleh kerabat Nabi SAW.
Maka perayaan Nabi memang dianjurkan dan tidak perlu diragukan lagi.
0 komentar:
Posting Komentar