BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits tentang menggunakan tongkat
عن
أبي سعيد الخدرى رضي الله عنهم، (أن النبي صلم الله عليه وسلم (غرز بين يديه غرزا،
ثم غرز إلى جنبه آخر، ثم غرز الثا لث فأ بعده)، ثم قال: هل تدرون ما هذا ؟ قالوا:
الله و رسوله أعلم، قال: هذا الإنسان و هذا أجله، و هذا أمله، يتعا طى الأمل و
الأجل يختلجه دون ذلك)
Terjemahan
Dari Abu Sa`id Al Khudri berkata; “Bahwasanya
Nabi SAW menancapkan kayu (tongkat) didepan beliau kemudian menancapkan yang
lain di sampingnya, lalu menancapkan yang lainnya agak menjauh, kemudian beliau
bersabda: “Apakah kalian tahu ini? Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya
lebih tahu, “beliau bersabda: “Ini adalah manusia dan ini ajalnya, sedangkan
yang ini adalah angan-angannya, ia ingin mengambil angan-angannya, sedangkan
ajalnya menariknya”. Ketika hampir mendapatkan angan-angannya.[1]
B.
Keterangan Hadits
Hadits di atas maenjelaskan bahwa suatu ketika
Rasullullah SAW bertanya kepada para sahabat mengenai tiga tongkat yang beliau tancapkan
(di depan beliau, di samping beliau, dan yang satu lagi agak menjauh dari yang
ke dua). Kemudian sahabat menjawab, hanya Allah dan Rasul-Nya yang tahu. Kemudian
beliau menjawab, yang pertama (di depan beliau) adalah manusia, yang ke dua (di
samping beliau) adalah ajal, dan yang ke tiga (agak menjauh dari yang ke dua)
adalah angan-angan. Manusia itu mempunyai angan-angan kemudian pada saat angan-angan
itu hampir di gapainya, ajal menariknya dan menggagalkan angan-angan itu. Lebih
jelasnya yaitu bahwa angan-angan manusia itu lebih jauh dari peda umurnya
(ajal), selama dia masih hidup dia akan terus berangan-angan dan tidak akan
puas dengan apa yang ia punya, jika angan-angan itu sudah tercapai maka akan
muncul angan-angan yang baru. Hal ini terlihat pada tongkat yang ketiga (angan-angan)
itu letaknya lebih jauh dari pada tongkat yang kedua (ajal).
C. Uraian
Dalam mendekatkan dan menggambarkan suatu
kenyataan, Rasulullah SAW kadangkala memakai sarana atau media peragaan.
Pada suatu hari Nabi SAW berbicara tentang muluk
dan banyaknya angan-angan. Bahwa sesungguhnya manusia merasa tidak puas dengan
hidupnya. Angan-angannya laksana gunung menjulang. Namun, kematian yang tidak
diketahui meliputinya. Manusia tidak pernah merasa, kecuali ketika kematian itu
benar-benar tiba, membuyarkan angan-angan dan menggagalkan rencananya.[2]
Rasulullah SAW pernah bersabda kepada
`Abdullah bin `Umar, “Di pagi hari, janganlah engkau berbicara kepada dirimu
sendiri tentang petang hari nanti, dan pada petang hari, janganlah berbicara
tentang pagi hari nanti. Ambillah dari hidupmu sesuatu untuk matimu, dari
kesehatanmu sesuatu untuk masa rentanmu karena sesungguhnya, wahai Abdullah,
engkau tidak mengetahui dengan sebutan apa engkau akan dipanggil besok hari”.
`Ali r.a. meriwayatkan bahwa Nabi SAW
bersabda, “Dua hal yang paling kutakuti dari kamu semua, melebihi segala
sessuatu yang lain: menuruti hawa nafsu dan berpanjang angan-angan sebab
menuruti hawa nafsu akan menghalangi orang dari kebenaran, sedangkan berpanjang
angan-angan berarti mencintai dunia.” Kemudian beliau bersabda lagi,
“Sesungguhnya Allah SWT menganugrahkan dunia kepada manusia yang dicintai
maupun dibenci; dan apabila Dia mencintai hamba-Nya, diberikan-Nya kepadanya
iman. Sungguh, agama itu mempunyai anak-anak. Begitu juga dunia; karena itu
bergabunglah dengan anak-anak agama dan jauhilah anak-anak dunia. Sesungguhnya,
dunia itu bergerak dan berlalu, sedangkan akhirat semakin mendekat.
Sesungguhnya kamu sekalian tengah berada di suatu zaman saat ada amal tanpa
perhitungan, tetapi akan tiba pada suatu masa saat ada perhitungan namun tak
ada lagi amal.”[3]
Sesungguhnya jika manusia mulai menggemari
dunia beserta hawa nafsunya, kesenangan-kesenangan dan pemikat-pemikatnya,
tentu dia akan merasa berat untuk berpisah dengannya sehingga hatinya akan
merasa enggan berpikir tentang kematian, yang menjadi sebab perpisahan itu;
karena siapa yang membenci sesuatu pasti akan menghindar darinya. Manusia
sering teperdaya oleh harapan yang sia-sia dan menenggelamkan dirinya kedalam
keinginan untuk mencapai angan-angan itu. Satu-satu dambaan hatinya ialah
kehidupan abadi di dunia ini. Dengan demikian dia tidak akan pernah berhenti
mendambakan hal itu dan menambatkannya di dalam dirinya, bersama dengan
keinginan mempertahankan kekayaan, keluarga, tempat tinggal, kendaraan dan
semua sarana kehidupan duniawi. Sehingga menjadi berpaling dari mengingat maut
lalu menganggapnya masih jauh.
Kalaupun pada suatu ketika terbetik kematian
dalam ingatannya dan kebutuhan mencari bekal amal saleh untuk menghadapinya,
diapun mengulur-ulur waktu dan membuat janji-janji kepada dirinya sendiri
seraya berkata, “Masih banyak waktu dimasa depan sampai kamu menjadi dewasa dan
matang. Setelah itu kamu bisa bertobat.” Namun, manakala dia sudah dewasa dan
matang, dia pun berkata, “Tunggulah sampai kamu tua.” Akan tetapi, ketika pada
usia tua, dia pun berkata, “Nanti saja setelah membangun rumah ini.” Dan
sebagainya. Dia pun selalu terikat pada satu kesibukan duniawi kepada kesibukan
duniawi yang lain. Sampai akhirnya dia di sambar oleh kematian pada saat yang
tak pernah diperkirakannya dan ketika itu, dia pun hanya bisa meratap
menyesalinya.[4]
D. Aspek Tarbawi
Sesungguhnya keindahan dunia ini
hanyalah ujian dari Allah, Ia ingin melihat siapakah diantara mereka yang terbaik
amalnya dan yang terburuk. Manusia
yang terbaik amalnya adalah yang memahami tentang hakikat kehidupan ini, ia
mengerti dunia adalah negeri yang fana tidak kekal, tempat beramal,
memperbanyak amal baik sebelum ajal tiba dan akhirat adalah tempat yang kekal
abadi, saat mendapatkan balasan sebagaimana amal pada saat di dunia.
Manusia yang
memahami hakikat ini akan menjadikan semua fasilitas kehidupan yang
dianugrahkan Allah sebagai bekal untuk akhirat, keindahan dunia tidak
dijadikannya sebagai tujuan akhir tetapi sarana menuju tempat yang lebih baik
dan abadi, ia hidup di dunia ini seperti orang asing yang tinggal di negeri nan
jauh dari negerinya, ia sangat merindukan kampung halamannya dan akan kembali
pada suatu hari nanti, tak pernah ia membayangkan untuk hidup membina keluarga
di negeri orang lain, tetapi hasil kerja kerasnya yang telah ia curahkan ia
tabung untuk kembali ke kampungnya, setiap detik merupakan waktu yang sangat
berharga untuk menanam amal di ladang dunia karena ia sadar bahwa ajal tidak
pernah memberitahukan kapan akan datang, karena ia berada di dalam
lingkarannya.[5]
Hal ini telah di jelaskan dalam firman Allah
yang artinya: Katakanlah: Sesungguhnya maut yang kalian lari darinya itu,
pasti akan mendapati kalian, lalu kalian semua pasti akan dikembalikan kepada
Yang Maha Mengetahui segala yang gaib dan yang nyata. Kemudian Dia akan
memberitahukan kepada kalian apa-apa yang telah kalian lakukan.[6]
Dengan mengingat maut, maka dengan sendirinya
akan menimbulkan ketidak senangan terhadap dunia yang serat dengan tipu daya
dan mendorong manusia untuk melakukan persiapan nantinya di akhirat kelak
0 komentar:
Posting Komentar